Saturday, June 19, 2010

Setelah Menanam Lantas Apa?

Mau gerakan sebatang pohon, atau sejuta pohon, sebetulnya ada persoalan lain. Yaitu setelah pohon ditanam, lantas siapa yang merawat? Jawaban gampang: ya masyarakat. Tapi nanti dulu, masyarakat yang mana?

Memobilisasi orang, asal caranya pas, kayaknya gampang. Apalagi yang berbau seremonial, ada seragam dan foto bersama segala. Lantas dokumentasi visual masuk ke blog dan Facebook.

Nasib si pohon? Entah. Dalam hati kita berharap semoga ada yang mengurusi entah siapa. Sudah bersedia menanam kok masih diminta jadi tukang kebun. Celaka nian.

Berkelanjutan dan rasa memiliki

Yang kita butuhkan adalah program yang berkelanjutan, bukan cuma one shot. Pelibatan khalayak tak cukup hanya hanya saat menanam tapi juga merawat.

Kesediaan merawat hanya bisa muncul jika ada rasa memiliki. Nah, ini yang agak berat. Proses komunikasinya lebih serius, karena ada pemantauan. Kalau digampangkan, ya pemantauan yang melibatkan para penanam.

Tahun lalu, ketika bersua di sebuah kedai kopi, seorang kawan dari LSM bercerita bahwa kelompoknya mengajak masyarakat menanam pohon di sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Setiap pohon (saya lupa pohon apa) diberi nama. Lantas secara berkala, sekian bulan sekali, penanam akan diajak ke pulau.

Memang berupa obrolan ringan sehingga saya lupa detilnya. Tapi bagi saya ini menarik. Ada pendekatan berkelanjutan dalam kegiatan itu. Setiap relawan yang terlibat menjadi pemilik pohon.

Untuk hari esok

Tentang penanaman pohon, saya teringat cerita yang saya baca saat saya masih SD. Seorang kakek menanam pohon entah apa. Lantas tetangganya, yang lebih muda, bertanya apa manfaatnya karena setelah pohon berbuah si kakek sudah mati.

Si kakek kurang lebih menjawab, “Aku menanam pohon ini untuk cucu-cucuku.”

Ini serupa alasan yang menjiwai Wahyu Nurdiyanto (Nothing) sehingga saya kutip dalam random quote di kolom pinggir Memo: menanam pohon kelapa untuk hari esok, untuk anak-anaknya (19 Februari 2010).

Trembesi: pilihan dan kontroversi

Pohon apa yang sebaiknya ditanam? Beberapa kalangan menganjurkan trembesi (Samanea saman).

Pohon ini cepat tumbuh (dalam lima tahun, diameternya 25-30 cm), berumur lama (bisa seabad, bila merujuk kasus Malang, oleh Nothing), kanopinya meneduhkan, kayu tuanya bisa untuk perabotan (bahkan gitar), dan yang lebih penting lagi bisa menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen.

Menurut Endes N. Dahlan, dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam berita Kompas, sebatang pohon trembesi berdiameter tajuk 10-15 meter bisa menyerap 28,5 ton karbon dioksida per tahun.

Akan tetapi Mochammad Na’im, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam berita yang sama, mengingatkan bahwa trembesi juga memberikan evaporasi (pemguapan) yang tinggi sehingga mengancam sumber air.

Adapun Mustaid Siregar, ahli ekologi tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyarankan kehati-hatian dalam menerapkan gerakan menanam trembesi mengingat trembesi adalah tanaman asing, padahal tanaman lokal ada yang terbukti tepat.

Manakah yang benar, termasuk benar dalam arti tepat sesuai lingkup penerapannya, tentu butuh kajian lebih jauh.

Lantas, dikaji dulu baru ditanam atau langsung tanam saja? Saya tidak tahu jawabannya karena saya bukan ahli. :D

sumber : http://blogombal.org/2010/04/19/

No comments: