Tuesday, June 22, 2010

Raflesia Padma : Mekar Setelah 81 Tahun

Bogor, (tvOne). Bunga langka, Raflesia Patma kembali mekar di kebun Raya Bogor, setelah pada 2 Juni lalu memperlihatkan pesonanya. Bunga langka ini terakhir kali mekar sebelumnya 81 tahun yang lalu.

Bunga yang mekar kali ini merupakan satu dari lima bakal calon bunga yang akan mekar.

Kehadiran Rafflesia Patma di Kebun Raya Bogor dapat menjadi salah satu alternatif mengisi waktu liburan, meski Rafflesia hanya bisa bertahan selama lima hari lalu akan layu kembali.

Pengunjung juga bisa mendatangi musium Herbarium di Cibinong Seince Center Pusat Penelitian Biologi.

Menurut Sofie Mursidawati, peneliti LIPI yang mengamati perkembangan bunga Rafflesia Patma tersebut, di Bogor, mengatakan, tanda-tanda bunga akan mekar di KRB sudah terlihat pada Sabtu dan barulah Minggu pukul 05:30 WIB bunga mekar sempurna.

"Berbeda dari pendahulunya, Rafflesia Patma yang mekar kali ini warnanya lebih cerah," ujar Sofie dalam siaran pers LIPI, Senin.

Sofie mengatakan, Rafflesia adalah tumbuhan yang sangat unik, memiliki sifat hidup yang menarik perhatian berbagai kalangan terutama peneliti.

Hingga kini, teknik untuk menumbuhkan Rafflesia diluar habitatnya masih sangat sukar dilakukan. Untuk melihatnya orang harus datang langsung ke habitat aslinya.

"Ini karena sifat biologis Rafflesia yang sangat rumit, karena hidupnya yang bergantung pada inangnya yaitu Tetrastigma spp, yang berasal dari suku anggur-angguran (Vitaceae)."

Menurut Sofie, usaha untuk membuat Rafflesia hidup diluar habitatnya sudah dilakukan sejak tahun 1857 oleh peneliti-peneliti Belanda, namun banyak aspek kehidupan biologisnya yang masih jadi misteri sehingga kelangkaan masih melekat pada tumbuhan ini.

Keberhasilan membuat Rafflesia tumbuh di Kebun Raya Bogor merupakan pencapaian yang menjadi batu loncatan karena ini merupakan buah dari ketekunan dari percobaan bertahun-tahun.

Mekarnya Rafflesia Patma di Kebun Raya Bogor setelah melalui penelitian intensif sejak tahun 2004. Dengan membawa inangnya langsung dari kawasan Pangandaran, Jawa Barat.

Rafflesia Patma merupakan bunga bangkai endemik Jawa Barat. Hasil percobaan ini diharapkan dapat diterapkan pada jenis-jenis Rafflesia lainnya di Indonesia seperti Rafflesia arnoldi yang keberadaannya semakin tergusur oleh aktivitas manusia.

Informasi mekarnya Rafflesia Patma telah tersebar di masyarakat. Staf Informasi Kebun Raya Bogor, Upun Punijar menyebutkan banyak pengujung yang datang ke Kebun Raya Bogor untuk melihat bunga langka tersebut.

"Hampir semua pengujung yang datang bertanya lokasi bunga Rafflesia berada, kebanyakan pengunjung dari kalangan siswa dan umum," ujarnya. (Ant)
»»  read more...

Saturday, June 19, 2010

Pro Kontra Trembesi

JAKARTA, KOMPAS.com - Alasan penanaman massal pohon raksasa trembesi atau Albizia saman yang disarankan pemerintah untuk menunjang program penanaman satu miliar pohon pada 2010 masih pro dan kontra. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan trembesi itu masih membutuhkan dukungan riset yang lebih saksama.

”Kebijakan penanaman pohon idealnya memerhatikan penggunaan dan kebutuhan masyarakat di tiap daerah. Trembesi termasuk jenis pohon dengan evaporasi atau penguapan tinggi sehingga berpotensi mengeringkan sumber air,” kata Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Mochammad Na’im, Senin (22/2/2010) di Yogyakarta.

Hal berbeda diungkapkan dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Endes N Dahlan, di Bogor, kemarin. Menurut dia, trembesi pada mulanya diketahui tumbuh di savana Peru, Brasil, dan Meksiko, yang minim air. ”Kemampuan tumbuh di savana menunjukkan, pohon ini tidak memiliki evaporasi tinggi,” ujarnya.

Endes adalah salah satu akademisi yang diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan pembekalan penanaman trembesi, 13 Januari 2010 di Istana Negara. Endes meneliti daya serap emisi karbon dioksida atas 43 jenis tanaman pada 2008.

Hasil penelitian pada trembesi dengan diameter tajuk 10-15 meter menunjukkan, trembesi menyerap karbon dioksida 28,5 ton per tahun. Ini angka terbesar di antara 43 jenis tanaman yang diteliti, bahkan ditambah 26 jenis tanaman lain, daya serap karbon dioksida trembesi tetap terbesar. Meskipun demikian, Endes belum bisa menjelaskan 68 jenis pohon lainnya yang diteliti.

Dia mengaku, belum meriset secara rinci kapasitas evaporasi trembesi. Diketahui pula, trembesi memiliki sistem perakaran yang mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium untuk mengikat nitrogen dari udara.

Kandungan 78 persen nitrogen di udara memungkinkan trembesi bisa hidup di lahan-lahan marjinal, juga lahan-lahan kritis, seperti bekas tambang, bahkan mampu bertahan pada keasaman tanah yang tinggi. ”Selain tahan kekeringan, juga tahan genangan,” kata Endes.

Menurut dia, pemerintah akan merealisasikan penanaman trembesi di sepanjang jalan Semarang-Kudus, Jawa Tengah. Sebanyak 2.767 pohon akan ditanam di sana hari Rabu besok.

Menurut Na’im, trembesi memiliki tajuk yang luas, sekaligus tebal. Kondisi ini membuat cahaya matahari sulit menembus. ”Tanaman di bawah naungan tajuknya tidak bisa tercukupi cahaya matahari sehingga tidak bisa tumbuh subur, bahkan mati. Jenis tanaman ini sebaiknya untuk perindang,” ujar Na’im.

Distribusi benih

Saat ini pemerintah telah mendistribusikan benih trembesi. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Anik Indarwati, mengatakan, pihaknya sudah menerima 40 kg benih trembesi pada awal Februari 2010.

”Trembesi dikenal dengan nama munggur. Tanaman ini tidak diarahkan untuk perkebunan rakyat karena khawatir membunuh tanaman lain,” kata Anik.

Trembesi dikenalkan pemerintah kolonial Belanda. Biasa ditanam sebagai perindang, termasuk perindang pada penampungan kayu kehutanan.

Trembesi cepat tumbuh, dalam lima tahun diameter batang bisa mencapai 25 sentimeter-30 sentimeter. Tetapi, keunggulan yang sama juga dimiliki berbagai pohon spesies asli Indonesia, di antaranya keluarga meranti, jabon, ketapang, atau pulai.

Menurut peneliti senior Biotrop Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Supriyanto, jenis trembesi saat ini juga belum diteliti apakah termasuk jenis yang invasif atau bukan. Jenis invasif itu mampu mendesak atau mematikan jenis tanaman lain di sekitarnya.

Hal ini seperti terjadi pada jenis tanaman akasia yang ditanam di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Tanaman ini mengakibatkan rumput sebagai sumber pakan kerbau liar tidak tumbuh. (IRE/GSA/NAW)

Sumber http://sains.kompas.com/read/2010/02/23/09592198/Pro.dan.Kontra.Trembesi

»»  read more...

Setelah Menanam Lantas Apa?

Mau gerakan sebatang pohon, atau sejuta pohon, sebetulnya ada persoalan lain. Yaitu setelah pohon ditanam, lantas siapa yang merawat? Jawaban gampang: ya masyarakat. Tapi nanti dulu, masyarakat yang mana?

Memobilisasi orang, asal caranya pas, kayaknya gampang. Apalagi yang berbau seremonial, ada seragam dan foto bersama segala. Lantas dokumentasi visual masuk ke blog dan Facebook.

Nasib si pohon? Entah. Dalam hati kita berharap semoga ada yang mengurusi entah siapa. Sudah bersedia menanam kok masih diminta jadi tukang kebun. Celaka nian.

Berkelanjutan dan rasa memiliki

Yang kita butuhkan adalah program yang berkelanjutan, bukan cuma one shot. Pelibatan khalayak tak cukup hanya hanya saat menanam tapi juga merawat.

Kesediaan merawat hanya bisa muncul jika ada rasa memiliki. Nah, ini yang agak berat. Proses komunikasinya lebih serius, karena ada pemantauan. Kalau digampangkan, ya pemantauan yang melibatkan para penanam.

Tahun lalu, ketika bersua di sebuah kedai kopi, seorang kawan dari LSM bercerita bahwa kelompoknya mengajak masyarakat menanam pohon di sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Setiap pohon (saya lupa pohon apa) diberi nama. Lantas secara berkala, sekian bulan sekali, penanam akan diajak ke pulau.

Memang berupa obrolan ringan sehingga saya lupa detilnya. Tapi bagi saya ini menarik. Ada pendekatan berkelanjutan dalam kegiatan itu. Setiap relawan yang terlibat menjadi pemilik pohon.

Untuk hari esok

Tentang penanaman pohon, saya teringat cerita yang saya baca saat saya masih SD. Seorang kakek menanam pohon entah apa. Lantas tetangganya, yang lebih muda, bertanya apa manfaatnya karena setelah pohon berbuah si kakek sudah mati.

Si kakek kurang lebih menjawab, “Aku menanam pohon ini untuk cucu-cucuku.”

Ini serupa alasan yang menjiwai Wahyu Nurdiyanto (Nothing) sehingga saya kutip dalam random quote di kolom pinggir Memo: menanam pohon kelapa untuk hari esok, untuk anak-anaknya (19 Februari 2010).

Trembesi: pilihan dan kontroversi

Pohon apa yang sebaiknya ditanam? Beberapa kalangan menganjurkan trembesi (Samanea saman).

Pohon ini cepat tumbuh (dalam lima tahun, diameternya 25-30 cm), berumur lama (bisa seabad, bila merujuk kasus Malang, oleh Nothing), kanopinya meneduhkan, kayu tuanya bisa untuk perabotan (bahkan gitar), dan yang lebih penting lagi bisa menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen.

Menurut Endes N. Dahlan, dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam berita Kompas, sebatang pohon trembesi berdiameter tajuk 10-15 meter bisa menyerap 28,5 ton karbon dioksida per tahun.

Akan tetapi Mochammad Na’im, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam berita yang sama, mengingatkan bahwa trembesi juga memberikan evaporasi (pemguapan) yang tinggi sehingga mengancam sumber air.

Adapun Mustaid Siregar, ahli ekologi tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyarankan kehati-hatian dalam menerapkan gerakan menanam trembesi mengingat trembesi adalah tanaman asing, padahal tanaman lokal ada yang terbukti tepat.

Manakah yang benar, termasuk benar dalam arti tepat sesuai lingkup penerapannya, tentu butuh kajian lebih jauh.

Lantas, dikaji dulu baru ditanam atau langsung tanam saja? Saya tidak tahu jawabannya karena saya bukan ahli. :D

sumber : http://blogombal.org/2010/04/19/
»»  read more...

Thursday, June 10, 2010

20 Satwa Liar Berhasil di Domestikan

Jakarta (ANTARA News) - Tidak kurang dari 20 jenis satwa liar yang telah berhasil didomestikasi di dunia untuk tujuan produksi daging sebagai sumber protein, antara lain rusa, kata pakar satwa Prof Dr Gono Semiadi.

"Pemanfaatan rusa sebagai hewan ternak bisa dibilang sebagai kegiatan domestikasi terakhir yang dilakukan manusia dengan sukses di akhir abad ke-20," kata peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu di Jakarta, Kamis.

Satwa tersebut, urainya, merupakan sumber protein alternatif terbaru yang telah mendapat tempat tersendiri di lidah konsumen Barat, apa lagi daging rusa berserat empuk dan memiliki gizi yang baik, rendah kalori dan rendah kolesterol.

Domestikasi, paparnya, merupakan proses pemeliharaan satwa dari kehidupan liar menjadi di bawah kontrol manusia dan dikembangkan sesuai dengan tujuan pemanfaatan manusia. "Sapi, kuda, kambing dan lain-lain didomestikasi manusia sejak ribuan tahun lalu."

Negara termaju dalam industri peternakan rusa adalah Selandia Baru, Australia, Jerman dan Inggris, ujarnya

Sedangkan di Asia, ia mencontohkan Malaysia yang sudah mengembangkan peternakan rusa tropis sejak 1992 dengan mendatangkan 755 ekor rusa Jawa dan Thailand yang aktif mengembangkan model peternakan rusa Sambar dan rusa Totol.

Sementara hingga saat ini Indonesia belum memberi perhatian serius terhadap rusa komersil yang mengarah pada pemanfaatan produk secara profesional dan belum memiliki model usaha penangkaran sistem peternakan, meskipun Indonesia memiliki tiga jenis rusa tropis, yakni rusa Jawa, rusa Sambar, dan rusa Bawean.

"Satu-satunya penangkaran rusa di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan peternakan hanya ada di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur di bawah Dinas Peternakan provinsi sejak 1998," katanya.

Potensi satwa liar saat ini, ujarnya, cenderung dinilai rendah dengan membatasinya sebagai satwa lindungan, untuk kepentingan estetika, atau tontonan turis dan mengabaikan potensi manfaat satwa lebih luas.

Ia mengakui, sering terjadi polemik berkepanjangan antara penangkaran dan pemanfaatan satwa liar, di mana CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) telah memperingatkan perlunya kewaspadaan adanya penyalahgunaan status hasil penangkaran dan penangkapan dari alam.

Namun UU no 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memungkinkan suatu jenis satwa liar berubah status menjadi hewan ternak bila secara genetik telah stabil tanpa bergantung pada populasi di habitat alam.
»»  read more...

Wednesday, June 09, 2010

Apa Cat Luar Rumah Anda?

Satu hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan anda untuk membantu mendinginkan rumah anda adalah warna cat tembok luar rumah anda.

Warna tembok yang gelap akan menyerap panas antara 70-90% dari seluruh radiasi sinar matahari yang mengena pada daerah tersebut. Sebagian dari panas ini akan masuk ke dalam rumah dengan cara konduksi di tembok yang akan mengakibatkan panas di dalam rumah. Hal ini akan menambah energi yang diperlukan untuk menyejukkan ruangan hingga 20%.

Warna yang terang akan memantulkan sebagian besar dari sinar dan panas menjauh dari rumah anda. Warna tersebut tidak harus berwarna putih saja, tetapi warna hijau atau biru pun pilihlah yang berwarna muda dan terang.

Tembok dengan tanaman menjalar juga dapat melindungi tembok dari panas dengan mem-blok sinar matahari serta memantulkannya terlebih dahulu. Pilih tanaman menjalar yang mudah dirawat.

Kontribusi sekecil apapun akan terus menghemat energi kita dan memperbaiki lingkungan.

Sumber : http://akuinginhijau.org

»»  read more...

Tuesday, June 08, 2010

3R

Anda pasti sudah pernah mendengar istilah 3R diatas yang sering didengungkan oleh banyak pencinta lingkungan. 3R itu adalah Reduce, Reuse and Recycle. Kita akan tambahkan 3R tersebut menjadi 4R dengan adanya Repair.

Reduce berarti kita mengurangi penggunaan bahan-bahan yang bisa merusak lingkungan. Reduce juga berarti mengurangi belanja barang-barang yang anda tidak “terlalu” butuhkan seperti baju baru, aksesoris tambahan atau apa pun yang intinya adalah pengurangan kebutuhan. Kurangi juga penggunaan kertas tissue dengan sapu tangan, kurangi penggunaan kertas di kantor dengan print preview sebelum mencetak agar tidak salah, baca koran online, dan lainnya.

Reuse sendiri berarti pemakaian kembali seperti contohnya memberikan baju-baju bekas anda ke yatim piatu. Tapi yang paling dekat adalah memberikan baju yang kekecilan pada adik atau saudara anda, selain itu baju-baju bayi yang hanya beberapa bulan dipakai masih bagus dan bisa diberikan pada saudara yang membutuhkan.

Recycle adalah mendaur ulang barang. Paling mudah adalah mendaur ulang sampah organik di rumah anda, menggunakan bekas botol plastik air minum atau apapun sebagai pot tanaman, sampai mendaur ulang kertas bekas untuk menjadi kertas kembali. Daur ulang secara besar-besaran belum menjadi kebiasaan di Indonesia. Tempat sampah yang membedakan antara organik dan non-organik saja tidak jalan. Malah akhirnya lebih banyak gerilyawan lingkungan yang melakukan daur ulang secara kreatif dan menularkannya pada banyak orang dibandingkan pemerintah.

Repair menjadikan 3R menjadi 4R. Repair memang banyak dilupakan oleh banyak orang, dan ini sebenarnya adalah hal yang terpenting di Indonesia. Repair adalah usaha perbaikan demi lingkungan. Contoh memperbaiki barang-barang yang rusak agar bisa kita gunakan kembali seperti sepatu jebol yang kita perbaiki karena dengan begitu kita tidak perlu membeli sepatu baru. Hal lain yang lebih besar adalah reboisasi atau perbaikan lahan kritis karena dengan ini kita bisa memiliki daerah resapan yang lebih besar dan menahan limpahan air yang bisa menyebabkan longsor. Penanaman bakau juga merupakan perbaikan lingkungan. Vulkanisir ban juga repair sehingga dapat kita reuse.

Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan dari repair ini sendiri dan sangat diperlukan di Indonesia. Yang terpenting adalah kreativitas dan kemauan karena tanpa keinginan yang kuat, membuang sampah di jalan pun menjadi mudah. Tapi kalau anda sudah membiasakan diri dengan hidup yang menghargai lingkungan, maka dengan mudah anda dapat menahan diri.

Sumber : http://akuinginhijau.org
»»  read more...