Jakarta (ANTARA News) - Tidak kurang dari 20 jenis satwa liar yang telah berhasil didomestikasi di dunia untuk tujuan produksi daging sebagai sumber protein, antara lain rusa, kata pakar satwa Prof Dr Gono Semiadi.
"Pemanfaatan rusa sebagai hewan ternak bisa dibilang sebagai kegiatan domestikasi terakhir yang dilakukan manusia dengan sukses di akhir abad ke-20," kata peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu di Jakarta, Kamis.
Satwa tersebut, urainya, merupakan sumber protein alternatif terbaru yang telah mendapat tempat tersendiri di lidah konsumen Barat, apa lagi daging rusa berserat empuk dan memiliki gizi yang baik, rendah kalori dan rendah kolesterol.
Domestikasi, paparnya, merupakan proses pemeliharaan satwa dari kehidupan liar menjadi di bawah kontrol manusia dan dikembangkan sesuai dengan tujuan pemanfaatan manusia. "Sapi, kuda, kambing dan lain-lain didomestikasi manusia sejak ribuan tahun lalu."
Negara termaju dalam industri peternakan rusa adalah Selandia Baru, Australia, Jerman dan Inggris, ujarnya
Sedangkan di Asia, ia mencontohkan Malaysia yang sudah mengembangkan peternakan rusa tropis sejak 1992 dengan mendatangkan 755 ekor rusa Jawa dan Thailand yang aktif mengembangkan model peternakan rusa Sambar dan rusa Totol.
Sementara hingga saat ini Indonesia belum memberi perhatian serius terhadap rusa komersil yang mengarah pada pemanfaatan produk secara profesional dan belum memiliki model usaha penangkaran sistem peternakan, meskipun Indonesia memiliki tiga jenis rusa tropis, yakni rusa Jawa, rusa Sambar, dan rusa Bawean.
"Satu-satunya penangkaran rusa di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan peternakan hanya ada di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur di bawah Dinas Peternakan provinsi sejak 1998," katanya.
Potensi satwa liar saat ini, ujarnya, cenderung dinilai rendah dengan membatasinya sebagai satwa lindungan, untuk kepentingan estetika, atau tontonan turis dan mengabaikan potensi manfaat satwa lebih luas.
Ia mengakui, sering terjadi polemik berkepanjangan antara penangkaran dan pemanfaatan satwa liar, di mana CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) telah memperingatkan perlunya kewaspadaan adanya penyalahgunaan status hasil penangkaran dan penangkapan dari alam.
Namun UU no 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memungkinkan suatu jenis satwa liar berubah status menjadi hewan ternak bila secara genetik telah stabil tanpa bergantung pada populasi di habitat alam.
"Pemanfaatan rusa sebagai hewan ternak bisa dibilang sebagai kegiatan domestikasi terakhir yang dilakukan manusia dengan sukses di akhir abad ke-20," kata peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu di Jakarta, Kamis.
Satwa tersebut, urainya, merupakan sumber protein alternatif terbaru yang telah mendapat tempat tersendiri di lidah konsumen Barat, apa lagi daging rusa berserat empuk dan memiliki gizi yang baik, rendah kalori dan rendah kolesterol.
Domestikasi, paparnya, merupakan proses pemeliharaan satwa dari kehidupan liar menjadi di bawah kontrol manusia dan dikembangkan sesuai dengan tujuan pemanfaatan manusia. "Sapi, kuda, kambing dan lain-lain didomestikasi manusia sejak ribuan tahun lalu."
Negara termaju dalam industri peternakan rusa adalah Selandia Baru, Australia, Jerman dan Inggris, ujarnya
Sedangkan di Asia, ia mencontohkan Malaysia yang sudah mengembangkan peternakan rusa tropis sejak 1992 dengan mendatangkan 755 ekor rusa Jawa dan Thailand yang aktif mengembangkan model peternakan rusa Sambar dan rusa Totol.
Sementara hingga saat ini Indonesia belum memberi perhatian serius terhadap rusa komersil yang mengarah pada pemanfaatan produk secara profesional dan belum memiliki model usaha penangkaran sistem peternakan, meskipun Indonesia memiliki tiga jenis rusa tropis, yakni rusa Jawa, rusa Sambar, dan rusa Bawean.
"Satu-satunya penangkaran rusa di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan peternakan hanya ada di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur di bawah Dinas Peternakan provinsi sejak 1998," katanya.
Potensi satwa liar saat ini, ujarnya, cenderung dinilai rendah dengan membatasinya sebagai satwa lindungan, untuk kepentingan estetika, atau tontonan turis dan mengabaikan potensi manfaat satwa lebih luas.
Ia mengakui, sering terjadi polemik berkepanjangan antara penangkaran dan pemanfaatan satwa liar, di mana CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) telah memperingatkan perlunya kewaspadaan adanya penyalahgunaan status hasil penangkaran dan penangkapan dari alam.
Namun UU no 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memungkinkan suatu jenis satwa liar berubah status menjadi hewan ternak bila secara genetik telah stabil tanpa bergantung pada populasi di habitat alam.
No comments:
Post a Comment